Pada tahun 1407H, ketika melakukan suatu tugas pekerjaan, saya bertemu dengan seorang lelaki. Tugas itu memakan waktu lebih dari sebulan. Oleh karena itu, terjadilah suatu persahabatan yang akrab antara kami berdua. Suatu ketika aku bertanya kepadanya “Temanku yang terhormat, aku tahu kamu belum menikah, padahal umurmu sekarang hampir 40 tahun. Kenapa kamu mesti terlambat menikah. Orang seperti kamu pasti mengetahui manfaat-manfaat yang banyak dari menikah?”
Temanku diam, kemudian katanya “Ah...ah... Sobat. Demi Allah, aku benar-benar telah lelah mencari dan mencari calon istri sampai aku putus asa, dan akhirnya aku tidak ingin menikah. Sejak lebih dari tujuh tahun yang lalu aku sudah sering melamar dan aku selalu ditolak.
Tahukah kamu, sobat, aku telah melamar lebih dari 18 wanita. Setiap kali aku mengetuk, aku berkata dalam hati, mereka pasti akan menerimaku, insyaAllah. Akan tetapi, ternyata mereka menolak. Oleh karena itu, aku merasa sedih, tak bisa tidur, dan sering kali melamun hingga timbullah pikiran-pikiran dalam benakku, benarkah memang harus demikian nasibku? Benarkah? Sehingga, aku benar-benar ragu terhadap diriku, bahkan aku menuduh yang tidak-tidak terhadap diriku, akhlakku, dan keluargaku. Betapa seringnya aku merasa semakin sakit hati dan sedih ketika ada sebagian kerabatku atau orang yang aku kasihi menanyaiku, kenapa kamu tidak menikah? Aku merasa kesulitan sekali untuk menerangkan apa duduk persoalan yang sebenarnya kepada setiap orang.”
Aku berkata kepada temanku itu, meski aku malu, karena aku merasa telah membuatnya kesulitan, aku katakan “Sobat, bergembiralah menerima kebaikan. Karena, yang baik adalah apa pun yang dipilihkan Allah untuk hamba-Nya, dan kamu jangan putus asa. Mintalah taufik dan kesudahan yang baik pada Allah.”
Kemudian, terhentilah pembicaraan kami berdua. Selanjutnya, hampir lima bulan lamanya kami tidak bertemu. Tiba-tiba temanku itu menghubungiku. Dia mengundangku untuk menghadiri pesta pernikahannya. Aku senang sekali dan mengucapkan selamat kepadanya.
Kira-kira dua tahun sesudah menikah, aku bertemu lagi dengannya. Dia nampak bahagia sekali. Dia memberi kabar tentang kelahiran anaknya. Kemudian, aku katakan kepadanya, “Bagaimana keadaanmu dan istrimu?”
“MasyaAllah,” katanya, “alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas segala nikmat-Nya yang lahir maupun yang batin. Aku beritahu kamu bahwa aku mendapat nikmat yang besar sekali. Sungguh, Allah telah mengaruniakan kepadaku seorang istri yang menenteramkan mataku dari segala seginya. Dia adalah wanita yang shalih, terpelajar, cerdas, cantik fisik dan akhlaknya, dan baik sikapnya. Allah telah menjadikan kasih sayang di antara kami sehingga aku merasa sangat bahagia. Dia benar-benar memuliakan aku dan keluargaku, khususnya kedua orangtuaku. Orangtuaku telah berusia lanjut, keduanya sangat membutuhkan perhatian khusus dan istriku telah melakukan itu dengan sangat sempurna, alhamdulillah. Demi Allah, aku benar-benar memuji Allah setiap kali aku mengingat penderitaan-penderitaanku ketika ditolak oleh orang-orang yang dulu itu, dan aku katakan, alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan mereka tidak menerima lamaranku. Aku senantiasa memohon kepada Allah agar senantiasa memberi kebahagiaan kepadaku dan kepada saudara-saudaraku kaum muslimin.
“........boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” QS An-Nisa 19
by Sulaiman bin Muhammad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar