jauh sungguh jarak antara aku dengan surga.”
Itulah ungkapan seorang sahabat ketika mendengar Rasulullah saw. bersabda menjelang berkecamuknya perang Badar: ” Majulah kalian semua menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi.”
Kecermelangan sahabat-sahabat Rasulullah saw, serta semua manusia Muslim agung yang pernah memenuhi lembaran sejarah kejayaan umat ini, sesungguhnya difaktori salah satunya oleh “hadirnya” akhirat dan semua makna yang terkait dengan kata ini dalam benak mereka setiap saat.
Lukisan kenikmatan surga meringankan semua beban kehidupan duniawi dalam diri mereka. Lukisan kenikmatan surga meringankan langkah kaki mereka menyusuri napak tilas perjuangan yang penuh onak dan duri. Tak ada duri yang sanggup menghentikan langkah mereka. Sebab duri itu justru memberinya kenikmatan jiwa saat jiwa duniawinya
sedang bermandikan sungai surga. Lukisan kenikmatan surga melahirkan semua kehendak dan kekuatan yang terpendam dalam dasar kepribadiannya. Tak ada kehendak akan kebaikan yang tak menjelma jadi realita. Tak ada tenaga raga yang tersisa dalam dirinya, semua larut dalam arus karya dan amal.
Lukisan kedahsyatan neraka memburamkan semua keindahan syahwati dalam pandangan hatinya. Lukisan kedahsyatan neraka mematikan semua kecenderungan pada kejahatan. Sebab kejahatan itu sendiri telah berubah menjadi neraka dalam jiwanya, saat sebelah kakinya telah terjerembab ke dalam neraka dengan satu kejahatan, dan kaki yang satu akan menyusul dengan kejahatan kedua. Lukisan kedahsyatan neraka menghilangkan semua rasa kehilangan, kepahitan dan penyesalan dalam dirinya saat ia mencampakkan kenikmatan syahwati.
Lukisan surga dan neraka memberi mereka kesadaran yang teramat dalam akan waktu. Makna kehidupan menjadi begitu sakral, suci, dan agung ketika ia diletakkan dalam bingkai kesadaran akan keabadian. Kaki mereka menapak di bumi, tapi jiwa mereka mengembara di langit keabadian. Dari telaga keimanan ini mereka meneguk semua kekuatan jiwa untuk dapat mengalahkan hari-hari. Seperti apakah kenikmatan yang bisa diberikan syahwat duniawi kepadamu, jika engkau letakkan dalam neraka jiwamu. Sepeti apa pulakah kepahitan yang dapat diberikan penderitaan duniawi kepadamu, jika ia engkau simpan dalam surga jiwamu.
Lukisan surga dan neraka yang memenuhi lembaran surat-surat Makkiyah, terkadang dipapatkan Allah swt. dengan gaya ilmiah yang begitu logis. Sama seperti ia terkadang melukiskannya dengan gaya deskripsi, begitu sastrawi dan menyeni, seindah-indahnya atau semengeri-ngerikannya. Lukisan pertama menyentuh instrumen akal dan melahirkan ‘al-yaqin ‘ akan kebenaran hari kebangkitan (akhirat). Lukisan kedua menyentuh hati dan selanjutnya diharapkan melahirkan ‘ khaufan wa thama’an ‘.
Begitulah al-iman bil yaumil akhir itu menjadi telaga tempat kita meneguk semua kekuatan jiwa untuk berkarya. Begitulah al-iman bil-yaumil akhir itu menjadi mesin yang setiap saat ‘ memproduksi ‘ watak-watak baru yang positif dan islami dalam struktur kepribadian kita.
Untuk ‘ memfungsikan ‘ keimanan ini seperti ini, kita harus ‘ menghadirkan ‘ maknanya setiap saat dalam benak dan hati kita. Sebab “… dari makna-makna kubur inilah akan lahir akal yang kuat dan tegar bagi sang kehendak “, kata Musthafa Shidiq Ar-Rafi’i.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar